Pontianak, 15 Agustus 2022 – Program Perhutanan Sosial (PS) di Kalimantan Barat harus menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat penerima. Hal ini menjadi salah satu pesan Gubernur, Sutarmidji, yang disampaikan dalam sambutannya pada rapat koordinasi Pokja P2PS Provinsi Kalimantan Barat.
“Implementasi PS itu tidak perlu banyak teori dan sebaiknya dilakukan perencanaan dari hulu sampai hilir agar dari lokasi-lokasi perhutanan sosial dapat dihasilkan nilai tambah untuk masyarakat,” terangnya.
Saat ini menurut beliau, telah terbit 212 persetujuan pengelolaan PS dengan luasan mencapai lebih dari 530 ribu hektar. Luasan ini baru sekitar 34,43 persen dari target yang tercantum dalam Peta Indikatif Areal PS (PIAPS) untuk provinsi Kalimantan Barat.
Untuk mencapai target kesejahteraan, Gubernur menyebut sedikitnya terdapat dua syarat, memastikan komoditas yang ditanam pada lahan PS sesuai dengan karakteristik tanah dan jenis habitat alaminya, serta pendampingan pasca izin.
“Jenis-jenis tanaman yang unik mesti dikembangkan, untuk meningkatkan konsumsi produk-produk alami. Akhirnya keberhasilan PS juga bergantung dari proses pendampingannya. tidak sewaktu dan parsial agar tujuan PS dapat tercapai,” ungkap Sutarmidji.
Selain Gubernur Kalimantan Barat, kegiatan ini menampilkan beberapa narasumber, di antaranya dari Ditjen PSKL (Direktorat Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan), Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Direktorat SUPD (Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah) 1 Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Fauna Flora Indonesia, GIZ Forclime, Dinas LHK Provinsi NTB (Nusa Tenggara Barat), perwakilan LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa) Nanga Lauk dan KEMITRAAN.
Pada sesi paparan narasumber dan diskusi, Ditjen PSKL yang diwakili Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial, Catur Endah, menjelaskan implementasi PS pasca UU Cipta Kerja. Selain itu juga beliau menjelaskan praktek dan pengalaman pengembangan usaha PS di beberapa lokasi yang menjadi bagian dari program hibah luar negeri dan dikelola oleh kementerian LHK.
Sementara itu, Dyah Irawati, Kasubdit (Kepala Subdirektorat) Kehutanan Dit SUPD 1 Kemendagri memaparkan dukungan kementeriannya dan meyakinkan pemerintah daerah untuk tidak ragu mendukung implementasi PS.
“Ini karena Kemendagri telah memetakan pos dan mata anggaran pemerintah daerah yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan PS,” jelasnya.
Selain itu, Kemendagri juga tengah membuat panduan bagi pemerintah daerah berkaitan dengan pelaksanaan permendagri No. 90/2019 dan Kepmendagri 050-5889/2021 yang dapat mendukung implementasi PS oleh pemerintah daerah.
Gladi Hardiyanto, Project Manager KEMITRAAN memaparkan program yang dikerjakan lembaganya di Kalimantan Barat. Termasuk upaya untuk perluasan areal dan penguatan kapasitas para pemegang persetujuan PS. Secara khusus juga dipaparkan proses pengembangan sistem informasi PS di Provinsi Kalbar, yang diharapkan selain menjadi wadah pangkalan data juga dapat menampilkan produk pengetahuan dan informasi implementasi PS. Info ini dapat dimanfaatkan oleh para pihak yang akan membantu dan bekerjasama, terutama berkaitan dengan pengembangan dan pemasaran produk hasil hutan yang dihasilkan dari areal-areal PS.
Paparan lainnya disampaikan oleh Kepala Balai PSKL Wilayah Kalimantan yang menyampaikan proses dan prosedur penyusunan Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS). Kemudian perwakilan FFI yang menyampaikan pengalaman pendampingan PS baik pra maupun pasca persetujuan. Terakhir, Ketua LPHD Pematang Gadung yang memaparkan pengalaman, kondisi dan perkembangan hutan desa yang dikelolanya.
Secara umum rapat koordinasi yang dihadiri oleh para anggota Pokja yang terdiri dari OPD pemerintah provinsi, perguruan tinggi, NGO dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang ada di Kalimantan Barat menghasilkan beberapa kesepahaman, di antaranya perlunya Pokja PPPS Kalbar untuk menyusun Peta Jalan Perhutanan Sosial untuk mewadahi dan menjadi panduan bagi para pihak agar dapat terlibat dalam implementasi PS di Kalimantan Barat.
Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa masih sangat diperlukan dukungan dan fasilitasi yang berkelanjutan, dari proses pengajuan hingga pendampingan pasca persetujuan, mulai dari pengembangan produk/komoditas, pemasaran dan akses permodalan serta jejaring yang dapat mendukung implementasi PS.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.