Wajah demokrasi kita hari ini menjadi tantangan besar selaku negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat (AS) dan India. Praktik berdemokrasi kita dianggap mengalami kemunduran. Indikatornya, kebebasan berpendapat tidak lagi dijunjung tinggi, serta proses pembuatan kebijakan cenderung kurang melibatkan publik. Kualitas serupa juga dialami oleh daerah. Aceh misalnya. Alih-alih menyejahterakan, kebijakan otonomi khusus yang menjadikannya wilayah yang diberi kewenangan lebih dibanding dengan daerah lain di Indonesia, justru belum mampu melaju dan menjadi provinsi termiskin di Sumatera (BPS, 2021).
Kualitas demokrasinya dianggap sungsang (harian Kompas, 5/4/2021). Kondisi ini menyulitkan saya, saat diminta menyampaikan materi demokrasi kepada perwakilan anak muda Aceh di acara Muda Melangkah. Jika menggunakan strategi yang sama saat menjelaskan apa itu demokrasi di depan anak muda Sumatera Barat (lihat Negeri Para Demokrat), penulis khawatir diskusi berakhir dengan menguatnya apatisme anak muda terhadap masa depan demokrasi di Aceh, juga Indonesia.
Melihat dari Dekat
Saya mengingat kembali apa yang identik dengan masyarakat Aceh saat bekerja pasca-tsunami tahun 2006. Salah satunya adalah kedai kopi yang berjejer dengan kursi platik ikonik yang diduduki oleh laki-laki yang sedang menikmati kopi, baik pagi, siang, sore bahkan malam hari. Saya menghubungkan demokrasi dan kopi. Karena saya percaya, mengomunikasikan sesuatu akan lebih efektif jika menggunakan bahasan yang telah dikenal dan dekat dengan keseharian, dalam hal ini kopi. Setelah melakukan riset, sedikitnya ada tiga persamaan antara demokrasi dan kopi di Indonesia. Pertama, iklim tropis menjadikan kita sebagai eksportir kopi terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Vietnam. Predikat ini sama dengan demokrasi. Kedua, demokrasi di awal keberadaannya jauh dari pelibatan perempuan. Momentum tonggak menguatnya demokrasi di Prancis dan Eropa tahun 1848 pun hanya memberikan hak pilih kepada laki-laki. Setali tiga uang, masih ada larangan bagi perempuan menikmati kopi hingga kini di Aceh dengan berbagai alasan. Satu di antaranya karena faktor kesehatan yang berkaitan dengan kesuburan. Tahun 2017, saat ekspedisi kopi, jurnalis perempuan Kompas tidak disuguhi kopi ketika bertandang ke rumah salah satu penemu varietas kopi di Takengon. Ceritanya terdokumentasikan dalam liputan ekspedisi kopi di harian Kompas bulan November tahun ini, dengan judul Perempuan yang Tidak Mendapat Segelas Kopi. Ketiga, hasil kajian terhadap kualitas demokrasi di Indonesia kian memprihatinkan. Salah satu penyebabnya menurut survei harian Kompas (2022) akibat dari maraknya korupsi. Demikian juga dengan kopi, Business Insider memprediksi produksi kopi di dunia menurun drastis beberapa dekade ke depan akibat dari dampak perubahan iklim. Kondisi ini jelas merugikan Indonesia karena berpotensi kehilangan sumber devisa. Kekeringan dan kebakaran lahan gambut beberapa dekade terakhir mengancam salah satu varian kopi dari Indonesia, yakni liberica.
Nasib serupa juga dialami oleh demokrasi. Eksistensinya kian dipertanyakan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan demokrasi di dunia juga mengalami ancaman yang sama. Ini harus menjadi kritik bagi para demokrat di Indonesia, sudahkah benar-benar demokrasi berada pada jalurnya, atau sekarang demokrasi telah ditunggangi oleh musuh bebuyutannya, aristokrat yang koruptif?
Penyelamat Demokrasi
Pada proses penyusunan materi, saya menemukan ironi. Pada satu sisi, kopi mampu bertransformasi sedemikian rupa di tangan anak muda. Kopi mampu menyerap banyak tenaga kerja dan menjadi budaya (terutama anak muda) Indonesia. Saat di Aceh dulu, kopi identik dengan hitam, pahit, dan orang tua. Saat ini, tidak hanya pulau Sumatera, dari Sabang sampai Merauke dihiasi dengan kedai kopi yang diisi dengan anak muda, laki-laki dan perempuan, dengan segala varian kopi yang ditawarkan. Kopi juga mampu bertransformasi menjadi media yang cukup efektif, dari mulai urusan lobi-lobi pekerjaan, mempererat hubungan, atau bahkan mendamaikan pertikaian. Misalnya, saat ingin mengajak pasangan, atasan maupun rekan kerja, bahkan orang-orang yang bersengketa untuk bicara, biasanya ajakannya berupa “ngopi yuk.” Saat sudah di kedai, mau pesan apapun selain kopi, tidak ada satupun yang janggal dan menginterupsi, karena ruang komunikasi dan diskusi sudah terbuka. Sementara pada sisi lain bonus demografi yang ditandai dengan besarnya jumlah anak muda, belum sepenuhnya mampu menjadikan demokrasi sebagai media untuk mencapai tujuan seperti yang dicita-citakan para pendahulu kita. Penyebabnya, karena anak muda tidak sepenuhnya dilibatkan dalam berdemokrasi. Jikapun ada, kita dapat dengan telanjang mata melihat latar belakang keluarga atau hubungan mereka dengan para petinggi maupun pemegang kekuasaan saat ini. Penyebab lain adalah karena syahwat kekuasaan dari generasi di atasnya yang terlalu besar. Kita ingat di Pemilu 2014 maupun 2019, berbondong-bondong politisi negeri ini mengaku mewakili anak muda, bahkan sebagian lagi merasa dirinya sebagai anak muda. Tampilan mereka berubah, dibalut dengan pakaian maupun aksesoris yang identik dengan anak muda. Menciptakan ruang diskusi dan dengan saksama mendengarkan apa yang jadi aspirasi anak muda. Tapi kemudian saat suara anak muda dititipkan dan menjadi sebab mereka mendapat kekuasaan, mereka amnesia dan janji-janji yang mereka sampaikan hanya imaji. Transformasi yang ada hanya demi suara. Mereka menegasikan semangat kolaboratif dalam kerja-kerja pembangunan, mendeligitimasi masukan dan usulan serta membatasi ruang-ruang berpendapat. Ujungnya, survei CSIS (2022) menyebut anak muda merasa tak bebas mengkritik pemerintah. Kondisi ini harus menjadi peringatan, jangan sampai anak muda antipati, dan terjadi penurunan dukungan terhadap demokrasi. Aneh saja jika demokrasi mati, justru di tengah-tengah generasi yang logika berpikirnya sangat demokratis. Dari perjalanan kopi, kita melihat apa yang dapat anak muda lakukan. Saatnya anak muda diberi kesempatan untuk mengubah wajah demokrasi demi masa depan Indonesia, momentumnya sudah sangat dekat (2024). Pilihannya ada pada anak muda, mau terlibat atau sekadar jadi pengamat dan penikmat?
Penulis Arif Nurdiansah, Knowledge & Communication Officer KEMITRAAN
Artikel ini telah tayang di Kompas.com.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.