Beranda / Publication

Walikota Ajak Warga Rumuskan Taman Kota untuk Cegah Dampak Perubahan Iklim di Samarinda

Samarinda, 6 Desember 2022 – Dalam rangka mewujudkan kota dengan lingkungan yang aman, nyaman, harmoni, dan lestari sesuai dengan visi dan misinya, pemerintah Kota Samarinda ajak warga dan terutama anak muda untuk terlibat dalam membangun taman kota yang adaptif terhadap dampak perubahan iklim.

“Persolan perubahan iklim adalah tugas menantang, sehingga membutuhkan komitmen kerjasama seluruh pihak. Terutama dalam proses pembangunan ruang publik nanti, keterlibatan seluruh pihak, mulai dari masyarakat lokal hingga pemerintah dibutuhkan agar infrastruktur yang dibangun sesuai dengan kondisi masyarakat perkotaan sekitar dan harapannya dapat diadaptasi di kota-kota lain,” demikian disampaikan oleh Andi Harun, Walikota Samarinda saat membuka diskusi peluncuran Program “EMBRACING THE SUN: Mendefinisikan Kembali Ruang Publik Sebagai Solusi Dampak Perubahan Iklim Global di Wilayah Perkotaan Indonesia.”

Untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemerintah Kota Samarinda bekerjasama dengan  KEMITRAAN – Partnership for Governance Reform selaku satu-satunya organisasi non pemerintah di Indonesia yang tersertifikasi pengelolaan dana adaptasi, dan Pusat Studi Ketahanan Iklim dan Kota (PSKIK), Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya melalui dukungan dari Adaptation Fund dengan durasi program 19 bulan.

Program Embracing the Sun mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam menghadapi perubahan iklim. Program ini menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam penanganan isu perubahan iklim, melalui pemanfaatan ruang publik terbuka bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut hasil penelitian dari Queensland University of Technology-Australia, perencanaan ruang publik yang baik dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

“Program ini mempunyai tiga pendekatan utama. Pertama, pemanfaatan ruang publik dengan menekankan pada konsep tata ruang yang berkelanjutan. Konsep berkelanjutan adalah mengurangi kerusakan lingkungan, meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan stabilitas dan kehidupan masyarakat. Kedua, masyarakat sebagai subjek utama, di mana pada proses pembangunannya menyesuaikan dengan kebutuhan dan masukan dari masyarakat. Ketiga, ruang publik sirkular, yaitu pemanfaatan ruang publik agar produktif dan melakukan kegiatan daur ulang,” jelas Mirko Gualarda, perwakilan dari School of Architecture & Built Environment, Faculty of Engineering, Queensland University of Technology.

Saat diskusi, turut hadir pula Dewi Rizki selaku Direktur Program Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN. Dewi mengatakan bahwa tujuan dari program ini adalah untuk mempersiapkan masyarakat Samarinda agar tangguh dalam menghadapi krisis iklim, khususnya dalam beradaptasi dengan dampak sosial, baik sebelum, selama, dan setelah peristiwa banjir.

“Ruang publik ini akan dibangun di bantaran sungai Karang Mumus yang mengalir di tengah Kota Samarinda. Diharapkan ruang publik ini dapat mendorong adanya pertukaran pengetahuan, agar masyarakat bisa lebih paham dan peduli tentang akar penyebab perubahan iklim,” kata Dewi pada sambutannya di Ruang Rapat Mangkupalas, Kantor Walikota Samarinda, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Retno Hasti selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Ketahanan Iklim dan Kota Untag Surabaya juga berharap bahwa adanya ruang publik ini dapat menjadi wadah masyarakat, terutama generasi muda Indonesia untuk berkumpul, berdiskusi, dan beraksi nyata dalam beradaptasi dengan perubahan iklim.

“Kami ingin meningkatkan kesadaran akan dampak perubahan iklim, dan strategi utamanya adalah dengan memberi wadah untuk berdiskusi. Harapannya dapat melahirkan langkah-langkah adaptif untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” tambah Retno.

Tak hanya sebagai ruang diskusi, ruang publik ini nantinya akan mencoba mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan yang akan menghasilkan energi bersih, menjadi ruang kolaborasi bersama, dan menjadi tempat berlindung ketika terjadi banjir.