Hampir dua dekade lalu, kakao senantiasa menjadi komoditas unggulan Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam menopang kinerja ekspor daerah ini. Pada masa kejayaannya dahulu, komoditas kakao Sulsel menjadi primadona pada sektor perkebunan sejalan dengan tingkat kesejahteraan para petani kakao di sentra-sentra produksi. Tanaman yang lebih sering disebut dengan buah coklat ini banyak dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan dan minuman, seperti susu, selai, roti, dan sebagainya. Kakao telah memberi dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat dengan penyediaan lapangan kerja hingga mendorong pengembangan agroindustri.
Sayangnya, produktifitas tanaman ini tiba-tiba anjlok akibat perubahan iklim, serangan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman yang semakin turun akibat tanaman berumur tua. Minimnya pemahaman petani terkait upaya pengembangan dan peningkatan produksi kakao juga menjadi penyebab tanaman ini hilang. Pung Maha merupakan salah satu masyarakat adat yang tinggal di Kawasan Hutan Adat Ammatoa Kajang, tepatnya di Desa Tambangan, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dia menyatakan produksi kakao di daerah itu turun drastis, yakni dari 500 kilogram per hektar menjadi 300 kilogram per hektar. “Penurunan produksi ini salah satunya disebabkan hama tanaman dan kami tidak paham tata cara merawat dan memelihara tanaman kakao dengan baik,” kata Pung Maha.
Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Bulukumba tahun 2023 menunjukkan luasan lahan pertanian sekitar 22.720,79 Ha dan Perkebunan 33.587,10 Ha telah mengalami penurunan produksi yang signifikan secara terus menerus dan mengakibatkan masyarakat desa enggan untuk mengurus tanaman coklatnya. Implikasinya pada tahun 1990-an luasan lahan perkebunan kakao menyusut, bahkan menghilang lantaran banyak petani yang beralih pada tanaman pangan monokultur yang dinilai memiliki nilai ekonomi lebih tinggi disertai peremajaan relatif lebih cepat, seperti tanaman jagung. Padahal pertanian monokultur yang berulang kali dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem dan menurunkan keragaman hayati. Tanah juga dapat mengalami kelelahan karena kebutuhan nutrisi yang spesifik dari satu jenis tanaman yang terus-menerus ditanam.
Untuk itu, KEMITRAAN bersama dengan Konsorsium Payo-Payo Oase ingin menghidupkan kembali tanaman agroforestri sebagai salah satu alternatif sumber penghidupan keluarga. Tanaman yang dipilih, yaitu tanaman kakao dengan jenis bibit yang tahan iklim. Tahan iklim yang dimaksud adalah ketahanan terhadap kondisi lingkungan dingin, panas, angin kencang, kekeringan, dan/atau banjir. Program Adaptation Fund (AF) ini menyasar tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) terintegrasi yang berkelanjutan di Kawasan Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Program AF memandang kakao masih memiliki prospek besar untuk bisa kembali sebagai komoditas unggulan. “Makanya kami mengembangkan sebuah demplot untuk menjadi contoh. Dalam kebun ini dilakukan praktek pertanian kakao yang baik. Meningkatkan produksi namun tetap menjaga lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem,” terang Musliadi salah satu Fasilitator Program Adaptation Fund.
Musliadi atau biasa dipanggil Mul menjelaskan praktek baik yang diajarkan oleh Tim AF dimulai dari pemetaan, pembentukan kelompok kerja, penyusunan rencana kerja kelompok, pebibitan, sekolah lapang, pendampingan, hingga akhirnya praktek penanaman di demplot. “Kami mengajak kelompok untuk tanggap dan beradaptasi dengan menanam bibit kakao yang tahan terhadap perubahan iklim dengan metode sambung pucuk. Praktek pertanian yang baik, cerdas, efektif, dan ramah lingkungan itu yang dikedepankan dalam Program AF,” lanjut Mul. Sebanyak 318 masyarakat telah mengikuti pelatihan sambung pucuk dan setiap orang menerima bibit kakao sejumlah 26 bibit yang ditanam di lahan seluas 0,013 Ha. Mul menjelaskan, dari total 4,18 Ha lahan percontohan Program AF harapannya dapat direplikasi ke 48 Ha total lahan yang ada di Desa Tambangan.
Metode sambung pucuk ini merupakan inovasi baru yang belum pernah dilakukan oleh masyarakat adat di Desa Tambangan. Selama ini mereka hanya menggunakan metode konvensional atau metode generatif, yakni teknik memperbanyak tanaman dengan menggunakan biji yang sudah disemai lalu dimasukkan langsung ke dalam polybag. Metode ini terbukti kurang efektif karena sifat-sifat tanaman kakao belum tentu seragam dan bisa saja berlainan dengan tanaman induknya.
Saat di demplot Pung Maha bercerita harga kakao dipasaran saat ini sangat menguntungkan dibandingkan dengan jagung. 1 kilogram jagung hanya dihargai Rp3.000,- sedangkan 1 kilogram kakao bisa dihargai sampai Rp20.000,-. “Dulu saat harga kakao melonjak tajam, banyak petani di sini yang tiba-tiba menjadi kaya mendadak. Kalau ingat masa-masa itu, kami jadi semangat lagi menanam dan merawat tanaman kakao, karena menjadi sumber pendapatan kami paling tinggi,” jelas Pung Maha saat ditemui Tim AF di kebun percontohan Desa Tambangan.
Tim AF berkesempatan melihat langsung tahapan teknik sambung pucuk yang dipraktekkan oleh Daming, Kepala Dusun Teteaka’, Desa Tambangan. Dia menjelaskan sambung pucuk adalah teknik memperbanyak tanaman dengan cara menggabungkan dua tanaman batang bawah dengan batang bagian atas/entres untuk menciptakan tanaman baru. “Kami menggunakan entres kakao yang sudah berbuah lalu disambung ke bibit baru. Ini dilakukan agar tanaman lebih cepat berbuah dan menghasilkan kualitas buah yang sama unggul dengan tanaman induknya. Untuk mendapatkan tanaman kakao yang berkualitas dan tahan iklim kami menggunakan bibit Clone 45 dan Sulawesi 2,” ungkapnya.
Daming, Kepala Dusun Teteaka’, Desa Tambangan yang juga salah satu anggota kelompok agroforestri Desa Tambangan mempraktekkan tahapan teknik sambung pucuk
Lalu Pung Maha menunjukkan beberapa pohon yang sudah berbuah banyak walaupun pohonnya belum tinggi. Dia mengenang, dulu saat belum mengenal metode ini kakao butuh waktu tiga tahun untuk bisa berbuah. Kini setelah menggunakan sambung pucuk, dalam waktu 10-13 bulan saja sudah banyak buahnya. “Saya menerapkan semua ilmu yang diajarkan pendamping. Dari 26 bibit yang saya terima, saya perbanyak menjadi 200 bibit kakao, semuanya tumbuh subur dan berbuah banyak. Tetangga sebelah pun sudah mulai ikut jejak kami sehingga sekarang sudah ada 10 lahan replikasi hasil pelatihan di desa ini,” tutur Pung Maha.
Pung Maha, Masyarakat Adat Desa Tambangan, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan menunjukkan pohon kakao hasil teknik sambung pucuk di demplotnya
Teknik sambung pucuk telah terbukti mampu memperbaiki produktivitas dan mutu kakao. Pung Maha juga memakai teknik ini untuk merehabilitasi tanaman yang sudah tua dan tanaman yang kurang produktif. Ini semua dilakukan oleh para anggota kelompok karana mereka sadar bahwa besarnya potensi kakao dalam perekonomian desa.
Pendampingan Berkelanjutan
Program Adaptation Fund di Bulukumba berhasil mengenalkan metode sambung pucuk kepada penerima manfaat. Metode sambung pucuk yang dikenalkan mengkoreksi teknik yang telah dilakukan masyarakat.
Syamsuddin, selaku Ketua Kelompok Agroforestri, mengatakan anggota kelompok saat ini berjumlah 25 orang. Selama enam bulan bersama pendamping Program AF, mereka melakukan berbagai kegiatan lapangan. Mereka juga dikenalkan dengan metode tumpang sari yang benar, yaitu metode dimana dua atau lebih jenis tanaman ditanam secara bersamaan atau hampir bersamaan dengan jarak tertentu pada area pertanian yang sama. “Selama ini kami kira sudah melakukan metode tumpang sari karena dalam satu kebun kami menanam beberapa tanaman. Tapi ternyata yang kami lakukan hanya tumpang tindih, yaitu menanam semua jenis tanaman gtanpa tahu cara yang benar, makanya hasil produksi tanaman kami berkurang atau bahkan mati hehehe,” gurau ketua kelompok.
Buah pohon kakao hasil teknik sambung pucuk yang berumur 13 bulan di Desa Tambangan,Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan
Di demplot juga ditanami tanaman sela lain, seperti kacang panjang, cabai, tomat, dan sebagainya agar hasil panen bisa menjadi sumber pemasukan sembari menunggu pohon kakao siap ditanam.
Daming, Kepala Dusun Teteaka’ Desa Tambangan, mengapresiasi pendampingan dari KEMITRAAN dan Konsorsium Payo-Payo Oase untuk meningkatkan sumber daya petani sehingga bisa melakukan budidaya kembali tanaman kakao dan tanaman agroforestri lain sehingga dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga serta meningkatkan perekonomian rumah tangga. Daming menegaskan kelompok petani kakao membutuhkan pendampingan yang intens karena saat ini kondisi kakao mulai diserang hama ulat. Namun hal itu tidak menurunkan semangat dan antusias anggota kelompok dalam merawat tanaman kakao. Banyak cara yang dapat dilakukan, salah satunya Program AF sudah menyiapkan pelatihan lanjutan yang akan dilaksanakan pada Oktober 2023, yaitu pengendalian hama dan penyakit tanaman kakao menggunakan metode kultur teknik untuk menanggulangi permasalahan hama dan penyakit yang menyerang tanaman tersebut.
Serangan hama dan penyakit berpotensi menurunkan produktivitas kakao hingga 70 persen. Berbagai upaya harus dilakukan termasuk melakukan peremajaan tanaman menggunakan bibit yang berkualitas
“Pendampingan intens ini memang sangat diperlukan dengan tujuan meningkatkan pemahaman kelompok terhadap pengembangan kakao agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani di masa mendatang,” tutup Musliadi. (shabs)
[1] Adaptation Fund Bulukumba. 2022. Quarterly Report V: “Adapting to Climate Change through Sustainable Integrated Watershed Governance in Indigenous People of Ammatoa Kajang Customary Area in Bulukumba Regency, South Sulawesi Province, Indonesia”
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.
This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.
For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.
These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.