”Saya pernah diancam (seorang bapak) kalau saya sampai membantu istrinya untuk menggugat cerai karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Saya akan dimasukkan ke penjara juga. Saya juga pernah dihadang di tengah jalan, saya juga pernah diancam nanti akan dibunuh.”
Demikian testimoni Lilik Indrawati, Ketua Sekolah Perempuan Gresik, Jawa Timur, yang disampaikan pada diskusi bertajuk ”Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN” di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Diskusi digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Kemitraan. Kegiatan ini dalam rangka Hari Perempuan Pembela HAM (PPHAM) Internasional yang diperingati setiap 29 November dan Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2024.
Pada diskusi tersebut, Lilik mengungkapkan sehari-hari berjualan jamu dan membuka warung mi ayam. Dia menjadi perempuan pembela hak asasi manusia setelah bergabung dengan sekolah perempuan di Gresik. Hingga kini, dia mengoordinasi perempuan-perempuan di daerahnya agar bisa mengambil keputusan untuk diri mereka masing-masing.
Selama ini bersama Sekolah Perempuan, Lilik mendampingi sejumlah perempuan korban kekerasan, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus perempuan yang hampir bunuh diri karena terjerat utang. Termasuk pernah mendampingi anak perempuan 14 tahun yang diperkosa oleh kakek berusia 60 tahun.
Berbagai ancaman diterimanya, tetapi dia tetap menjalani peran tersebut. ”Rasa takut itu ada pastinya, rasa trauma itu ada. Namun, saya tetap berusaha untuk meyakinkan bahwa saya ini di jalan yang benar,” kata Lilik.
Selain Lilik, sejumlah perempuan dari beberapa daerah menyampaikan testimoni soal perjuangan mereka mendapatkan keadilan, dan mendampingi perempuan dan masyarakat rentan korban kekerasan. Testimoni juga disampaikan Salasari Daeng Ati, petani perempuan di Salakar, Sulawesi Selatan, yang memperjuangkan tanahnya saat konflik dengan PTPN.
Ada juga Rahmadika Isni dari Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Sulawesi Tengah yang berjuang bersama perempuan yang berada di wilayah tambang nikel di Kabupaten Banggai. Mama Aletta Baun, pejuang lingkungan dari Nusa Tenggara Timur, juga memberikan testimoni.
Diskusi yang bertujuan memperkuat advokasi, solidaritas, dan pelindungan bagi PPHAM di kawasan ASEAN, dibuka Ketua Komisi Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, dan Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif, menghadirkan perempuan pembela HAM dari beberapa negara sebagai pembicara.
Hadir berbicara secara daring, Shivani Verma (OHCHR Southeast Asia), Piyanut Kotsan (Executive Director Amnesty International Thailand), dan Nymia Pimentel Simbulan (Philippines Alliance Human Rights Advocates). Dari Indonesia, pembicaranya Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan).
Berbagi pengalaman
Pada diskusi yang dipandu Andreas Harsono dari Human Rights Watch, para pembicara berharap adanya peningkatan kesadaran, dukungan, dan perlindungan bagi perempuan pembela HAM, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Nymia Pimentel Simbulan mengungkapkan, dia memulai menjadi perempuan aktivis di masa pemerintahan Presiden Filipina Ferdinand Marcos, sekitar tahun 1972 saat pemberlakuan darurat militer di Filipina. Saat itu, Nymia menjadi aktivis mahasiswa mengadvokasi mahasiswa akan hak dan kesejahteraan.
Selain di kampus, dia bekerja untuk hak dan kesejahteraan masyarakat miskin dan terpinggirkan di Filipina. ”Sampai aku ditangkap dan ditahan menjadi tahanan politik selama masa darurat militer,” ujar Nymia.
Ketika dibebaskan dari tahanan, dia tetap melanjutkan advokasi HAM di Filipina sampai periode ketika darurat militer berakhir. Tak hanya dirinya, suaminya pun pernah ditangkap, disiksa, dan ditahan selama 16 bulan.
”Dari pengalaman ini lebih mendorong saya untuk melanjutkan hak asasi manusia saya kerja advokasi hingga saat ini,” tutur Nymia.
Pada diskusi tersebut, Piyanut Kotsan menjelaskan tantangan yang dihadapi perempuan pembela HAM di Thailand, antara lain hukum yang represif, risiko interseksionalitas (perempuan yang juga berasal dari kelompok minoritas), dan penggunaan media sosial untuk melakukan kampanye pencemaran nama baik.
Meskipun Thailand memiliki perempuan sebagai perdana menteri, bukan berarti situasi HAM perempuan di negara tersebut sudah membaik. Situasi tersebut menuntut strategi kolektif dan kolaborasi antaraktivis untuk menghadapi tantangan tersebut.
Adapun Shivani Verma membagi ceritanya sebagai perempuan India yang mulai mempelajari gerakan sosial dan tertarik tentang isu-isu HAM setelah mempelajar sejarah perjuangan kemerdekaan India, peran wanita dalam perjuangan kebebasan. Neneknya adalah seorang aktivis di masa penjajahan Inggris.
”Saya mendengar cerita dari mereka. Entah bagaimana aku merasa seperti aku harus melakukan sesuatu. Aku harus membuat diriku mampu, membuat suaraku didengar,” ujar Shivani.
Mulai saat itulah Shivani bertekad untuk meningkatkan kemampuannya, agar bisa memperkuat suara orang lain, dengan memulai bekerja bersama sebuah organisasi yang bekerja dengan Afghanistan. Hingga akhirnya Shivani bergabung dengan Kantor HAM PBB.
”Saya terlibat dengan banyak individu yang berani dan kuat, perempuan yang tidak mengidentifikasi diri sebagai pembela HAM. Namun, pekerjaan mereka adalah berbicara menentang segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan,” ujar Shivani.
Dalam konteks Indonesia, Theresia Iswarini menyoroti pentingnya memahami konteks historis dan budaya dalam menganalisis isu kekerasan terhadap perempuan. Terkait kepemimpinan, dia menilai penting adanya kepemimpinan yang memiliki perspektif yang kuat terhadap isu perempuan dan mendorong agar perempuan menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah.
Di Indonesia, misalnya, hampir semua Presiden yang memimpin tidak memiliki basis yang kuat untuk isu kekerasan terhadap perempuan. ”Isu kekerasan terhadap perempuan sering kali hanya programatik, tetapi bukan sesuatu yang berasal dari perspektif yang kuat,” ujarnya.
Karena itulah, dia menegaskan, gerakan perempuan terus menjadi ”pengawas” berbagai isu perempuan yang dibawa di setiap periode kepemimpinan Indonesia.
Kekerasan sistemik pada PPHAM
Andy Yentriyani menegaskan, di tengah dinamika sosial politik yang terus berubah di kawasan ASEAN, perempuan pembela HAM berhadapan dengan kekerasan sistemik. Di banyak tempat, mereka menghadapi ancaman, kriminalisasi, bahkan stigma sosial yang menyulitkan kerja-kerja mereka.
”Namun, di balik semua tantangan tersebut ada solidaritas yang terus tumbuh, yang menjadi kekuatan utama untuk bertahan dan berjuang,” ujar Andy.
Di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat sebanyak 89 kasus PPHAM terjadi sepanjang tahun 2019 hingga 2023. Berdasarkan data tersebut, serangan terbanyak dialami PPHAM pada kelompok isu kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah 71 kasus.
Sementara pada urutan kedua serangan terbanyak dialami oleh PPHAM pada isu lingkungan dan sumber daya alam (SDA), yaitu delapan kasus. Pada urutan ketiga dengan jumlah masing-masing dua kasus, dialami PPHAM pada kelompok isu Papua, jurnalis serta isu minoritas jender dan seksualitas.
PPHAM di negara-negara ASEAN juga tengah menghadapi situasi yang tidak mudah. Di Filipina, pembela HAM menghadapi ancaman serius, termasuk ancaman nyawa. Pada September 2023, pemimpin aktivis buruh ditembak kepolisian dengan dalih ”melawan” dalam proses serah terima penggeledahan. Pada 2020, sebanyak 29 aktivis tewas akibat penolakan mereka terhadap eksploitasi sumber daya alam.
Sementara di Myanmar, situasi semakin memprihatinkan sejak kudeta militer 2021. Lima aktivis perempuan yang memperjuangkan demokrasi ditangkap dan mengalami penyiksaan, pelecehan, bahkan ancaman pemerkosaan di dalam penjara. Pada Juli 2022, junta militer Myanmar juga mengeksekusi empat aktivis demokrasi karena dituduh melakukan aksi teror.
”Kita menyadari bahwa ancaman terhadap perempuan pembela HAM berasal dari aktor negara maupun non-negara. Dalam situasi ini, pengakuan terhadap keberanian mereka harus disertai dengan upaya kolektif untuk melindungi mereka,” kata Andy.
Senada dengan Andy, Laode M Syarif menyatakan, di Asia Tenggara, posisi Pembela HAM semakin rentan dengan perubahan situasi politik dan kepemimpinan di sejumlah negara. Para politisi memanfaatkan ranah digital dengan memanfaatkan buzzer untuk menyebarkan hoaks untuk mengantarkan mereka mencapai ambisi politiknya.
Di sisi lain, dengan semakin menguatnya kiblat negara-negara anggota ASEAN untuk mendulang investasi dari luar, akhirnya masyarakat, terutama perempuan dan kelompok rentan, seperti masyarakat adat dan nelayan tradisional, yang harus berhadapan dengan negara untuk mempertahankan haknya.
”Perempuan pembela HAM di sejumlah negara selama telah menunjukkan kontribusi dan perjuangannya dalam melakukan advokasi di berbagai sektor terutama berkaitan dengan hak-hak perempuan dan kelompok rentan,” tutur Laode.
Karena itu, penting untuk terus mendesak pemerintah di setiap negara ASEAN untuk memperkuat pelindungan hukum dan memastikan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan pembela HAM.
Berita ini telah tayang di kompas.id. Sumber: https://www.kompas.id/artikel/perempuan-pembela-ham