Beranda / Publication

Polri dan Cita-cita Organisasi Polisi Kelas Dunia

KINERJA Polri di tahun politik semakin mendapat sorotan publik. Ini harus dapat menjadi momentum bagi kepolisian untuk menunjukan banyaknya perubahan yang telah, sedang dan akan dijalankan dalam rangka mewujudkan institusi yang profesional. Anneke Osse dalam bukunya, Memahami Pemolisian (2007) menyebut salah satu prasyarat membangun pemolisian yang profesional adalah keterbukaan dan akuntabilitas kinerja. Selain setiap personel bertanggung jawab atas perilaku mereka kepada atasan dan institusi kepolisian secara penuh (akuntabilitas internal), dan melaporkan kinerja lembaga secara keseluruhan kepada Presiden selaku pemegang rantai komando tertinggi dan parlemen selaku pembuat kebijakan (akuntabilitas kepada negara).

Menurut Osse, polisi juga wajib melaporkan kinerjanya kepada masyarakat (akuntabilitas publik) dan pengawas (akuntabilitas eksternal dan pengawasan yang mandiri). Proses ini diharapkan dapat membangun interaksi khususnya antara polisi dengan publik secara luas, untuk mengikis adanya anggapan bahwa polisi tidak netral. Karena netralitas merupakan modal penting bagi pemolisian yang demokratis. Ironisnya, saat ini Polri dianggap belum sepenuhnya transparan dan akuntabel dalam menjalankan fungsinya. Misalnya dalam penanganan kasus yang menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan, kasus yang menimpa banyak aktivis HAM dan lingkungan, atau peristiwa 21-22 mei yang memakan korban. Jika terus dibiarkan, persoalan yang cukup menyita perhatian publik ini dapat menggerus citra Polri yang semakin baik. Berdasarkan survei litbang Kompas, terjadi peningkatan tren citra polisi dimata masyarakat dalam lima tahun terakhir, dari 46,7 persen (tahun 2013) menjadi 82,9 persen (tahun 2018).

Persoalan mendasar

Polri dihadapkan pada persoalan mendasar, yakni keterbatasan anggaran untuk penambahan jumlah anggota maupun menjalankan operasional kepolisian, terutama fungsi pencegahan dan pemeliharaan keamanan. Hingga hari ini, jumlah anggota Polri belum sesuai standar minimal sesuai rasio yang dikeluarkan oleh Perserikatan Banga-Bangsa (1 personel berbanding 400 orang). Terlebih jika membandingkan dengan luas wilayah yang harus diamankan, dari Sabang sampai Merauke, jumlah anggota Polri jauh dari ideal. Sementara itu, tingkat keamanan cukup berkembang dan membutuhkan banyak waktu, tenaga dan anggaran yang cukup besar, hingga menurut Prof. Adrianus Meliala membuat Polri sibuk (Kompas, 2017). Untuk menjawab tantangan defisit jumlah anggota di satu sisi, dan keterbatasan anggaran di sisi lain, tidak bisa tidak Polri harus menjadi institusi modern. Sedikitnya ada tiga ketegori modern menurut penulis.

Pertama, penggunaan teknologi informasi sebagai amanat Perpres No 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik dan salah satu poin dalam program Promoter Kapolri harus dilakukan secara menyeluruh. Perpres mengamanatkan penggunaan sistem pemerintahan berbasis elektronik di internal kelembagaan maupun pelayanan publik secara luas. Selain pelayanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), penerapan teknologi informasi juga diimplementasikan pada pelayanan-pelayanan yang dilakukan dalam rangka menangani laporan dari masyarakat, termasuk pengiriman informasi Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada masyarakat yang merupakan salah satu target untuk dibenahi Polri dalam dokumen Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Selain upaya dari pusat melalui pelayanan SIM dan SKCK online, terdapat inovasi penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri. Misalnya yang dilakukan oleh Polres Lombok Tengah di tahun 2016, melalui aplikasi berbasis android yang disebut SASAK (Sistem Aplikasi Sambungan Aktif Kepolisian). Aplikasi Sasak menggabungkan antara aplikasi panic button dengan mekanisme pembuatan SIM dan SKCK online. Secara teknis masyarakat dapat langsung lapor dengan memencet tombol panik di ponsel jika menjadi korban atau melihat tindak kejahatan maupun kecelakaan, Polres akan menghubungi dan segera mengirimkan anggota yang berada paling dekat dengan lokasi kejadian. Polres juga telah membuat database e-bhabinkamtibmas untuk menampung laporan baik kegiatan anggota maupun adanya potensi konflik di 193 desa secara real time, sehingga potensi yang ada dapat secara cepat diredam melalui langkah-langkah pencegahan yang langsung dipimpin oleh Kapolres.

Teknologi juga dimanfaatkan untuk mempercepat koordinasi dan deteksi dini potensi keamanan wilayah, serta memetakan daerah rawan, sehingga anggota dapat difokuskan untuk berpatroli di wilayah rawan. Dengan ini, kinerja Polres Lombok Tengah tetap mumpuni kendati personelnya terbatas, dan menjadi salah satu faktor Polres Lombok Tengah mendapatkan peringkat terbaik kedua Indeks Tata Kelola Kepolisian tipe rawan konflik (ITK 2017).

Tantangannya kemudian adalah keberlanjutan inovasi, terlebih setelah berganti kepemimpinan dan rotasi anggota, karena tidak semua memiliki komitmen besar serta pengetahuan terkait teknologi. Inovasi dan tantangan serupa juga dialami oleh banyak Polres, untuk itu dibutuhkan dukungan dari pusat dengan membuat kebijakan peta jalan penggunaan teknologi informasi di lingkungan Polri, serta menyediakan pendidikan kejuruan dan pelatihan seputar teknologi informasi.

Kedua, modernisasi culture set anggota Polri. Salah satu perubahan mendasar yang harus terus dilakukan adalah mengubah paradigma, dari seorang prajurit (warriors) yang kerap menggunakan pendekatan eksekusi menjadi penjaga (guardians) yang mengedepankan pelayanan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat atau pendekatan pencegahan. Kurikulum pendidikan yang ada di Polri menjadi salah satu pintu masuk paling strategis untuk mengubah paradigma.

Penambahan isu-isu yang menjadi perhatian publik seperti governance, antikorupsi, hak asasi manusia, gender serta pelayanan publik harus mendapatkan porsi yang besar dan di mainstream ke seluruh level jenjang pendidikan dan pelatihan di Polri, terutama pendidikan Bintara dan Tamtama, mengingat mereka ujung tombak pelayanan Polri dan langsung bersentuhan dengan masyarakat. Penting juga untuk mengubah metode pendidikan dan pelatihan dengan lebih fokus pada pembinaan mental dibanding fisik, sebagai upaya mencegah timbulnya tekanan psikologis anggota dalam menghadapi beragam karakter masyarakat yang dilayaninya.

Ketiga, perubahan mindset, salah satunya sistem jenjang karir –terutama pada jabatan strategis– yang masih abu-abu dan cenderung mendasarkan kedekatan pada pimpinan. Publik berharap Polri dapat melakukan lelang jabatan secara terbuka –sesuai amanat UU ASN– di internal Kepolisian untuk mendapatkan the right man on the right job. Praktik ini pernah berhasil dilakukan oleh Polda Kalimantan Barat di bawah pimpinan Brigjen Pol Arif Sulistiyono beberapa tahun lalu untuk mengisi jabatan strategis seperti Kapolsek, Kasat, dan Kabag, dan mendapat dukungan luas dari masyarakat. Pembenahan jenjang karir juga dapat dilakukan melalui pengukuran kinerja Polri yang menyeluruh. Menurut hasil penelitian Malcolm K. Sparrow dari Universitas Hardvard (New Perspective in Policing2015), umumnya ukuran pencapaian kinerja polisi di seluruh negara hanya berkutat pada indikator jumlah kasus yang ditangani dan penurunan tingkat kejahatan. Hal ini menciptakan persaingan kurang sehat di tubuh Polri, di mana cenderung memberikan penghargaan kepada anggota yang berhasil membongkar kasus-kasus besar dan mengesampingkan mereka yang dengan tugas dan fungsinya berhasil mencegah terjadinya kejahatan. Padahal, pencegahan terbukti efektif menurunkan angka kriminalitas dan juga mampu menghemat uang negara. Sebagai contoh, data Baharkam bulan Januari hingga Agustus (2016) menunjukkan bahwa 58.612 perselisihan di masyarakat yang berpotensi menjadi kasus telah berhasil diselesaikan melalui jalur musyawarah mufakat oleh anggota Bhabinkamtibmas di seluruh Indonesia. Sebagai perbandingan, jumlah perselisihan di masyarakat dikalikan dengan standar anggaran yang biasa digunakan untuk penanganan kasus ringan sebesar Rp 4,7 juta, maka dalam kurun waktu 6 bulan saja Polri telah menghemat anggaran negara sebesar Rp 275 miliar (Kemitraan, 2016).

Pendekatan pencegahan juga diperlukan untuk menekan angka kecelakaan melalui serangkaian kegiatan, diantaranya kampanye kepada publik (khususnya remaja) terkait pentingnya kesadaran berlalu lintas. Mengingat menurut data Korlantas (tahun 2014-2018) menunjukan 57 persen korban kecelakaan di dominasi oleh usia milenial. Di usianya yang kian matang, Polri semakin dihadapkan pada hambatan dan berbagai tantangan. Besarnya kepercayaan dan harapan publik dapat dijadikan modal bagi Polri untuk konsisten melakukan perubahan dan mewujudkan Polri sebagai world class organization yang mengedepankan profesionalisme.


Penulis: Arif Nurdiansah Peneliti tata kelola pemerintahan – Kemitraan/Partnership
Editor : Heru Margianto
Artikel ini telah tayang di Kompas.com